Pada 2018, Uber Technologies Inc., raksasa transportasi global senilai miliaran dolar, menyerahkan seluruh operasinya di Asia Tenggara—termasuk Indonesia—kepada Grab.
Keputusan tersebut mengakhiri perang lima tahun melawan duopoli lokal: Gojek (kini bagian GoTo) dan Grab.
Kekalahan Uber bukan sekadar persoalan bisnis, melainkan bukti bahwa penguasaan pasar digital Indonesia memerlukan lebih dari sekadar modal besar, tetapi juga pemahaman mendalam tentang dinamika lokal.
Akar Kekalahan Uber: Strategi Global vs Realitas Lokal
Kesalahan Fatal dalam Pendekatan Pasar
Uber masuk Indonesia pada 2014 dengan model standar global, yaitu pembayaran kartu kredit dan fokus pada taksi premium. Padahal, saat itu hanya 2% populasi Indonesia yang memiliki kartu kredit.
Pembayaran tunai baru diterapkan pada 2016—terlambat dua tahun—sementara Grab dan Gojek langsung mengadopsi pembayaran tunai/lokal sejak awal.
Riset pasar yang minim membuat Uber gagal membaca pentingnya layanan ojek motor (71% perjalanan di Jakarta). Sementara Gojek dan Grab menguasai segmen ini, Uber tetap bertahan dengan mobil.
Perang Promosi Uber yang Tak Berkelanjutan
Uber menggelontorkan dana besar untuk diskon dan insentif pengemudi (burning cash), tetapi strategi ini justru merugi Rp14 triliun/tahun di Asia Tenggara.
SoftBank—investor besar Uber—akhirnya mendorong merger dengan Grab untuk menghentikan “pembakaran uang”.
Regulasi dan Sentimen Nasionalisme
Uber dinilai kurang lincah menghadapi regulasi, seperti batas komisi 20% untuk driver yang kerap dilanggar.
Grab dan Gojek lebih cerdas membangun citra “startup anak bangsa”. Meski Grab berstatus Penanaman Modal Asing (PMA), 99% karyawannya adalah WNI. Sementara Gojek menggaet investasi Telkomsel untuk memperkuat identitas lokal.